Pasca tahun 1998, Mei menjadi bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena bulan itu merupakan gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto. Sampai
saat ini kata reformasi menjadi populer dikalangan masyarakat dan
birokrasi Indonesia. Reformasi lah yang dianggap sebagai kata kunci
untuk memperbaiki tatanan bangsa menuju bangsa yang sejahterah, bersih,
berwibawa, dan demokratis. Dibawa reformasi muncul sejumlah istilah baru
diantaranya, Good Governance, Reinventing Governtment,
Desentralisasi, The New Public Manajement, Good Coorporate Governance,
Civil Society, Coorporate Sosial Responsibility. Sejumlah istilah tersebut adalah Suport System untuk
percepatan agenda reformasi. Pertanyaannya, reformasi sudah berjalan
satu dasawarsa lebih sudah sampai manakah? Untuk menjawab pertanyaan
ini, penulis membagi reformasi kedalam tiga bentuk, diantaranya :
reformasi prosedural, reformasi struktural, dan reformasi kultural,
dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan diatas dan dapat
memetakkan apakah reformasi Indonesia pasca tahun 1998 telah mewujudkan
ketiga atau beberapa reformasi itu.
Reformasi Prosedural, adalah
tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif atau aturan
perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan
demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin
adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas
politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus
memberikan kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai
ekspresi kolektif dari identitas masing- masing. Undang-undang yang
mengatur bidang ekonomi harus melindungi kepentingan masyarakat umum
(ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan penguasa. Begitulah kira- kira
gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada konteks ini, hemat penulis
, Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan reformasi prosedural itu.
Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah banyak dirubah
bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan (amandemen).
Undang-Undang
No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai
sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan
dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya
desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua undang-undang tidak
mungkin dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era reformasi ini
secara prosedural terbersit harapan adanya repositioning
pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh
Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di
era reformasi, negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada
rakyat untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi
tawarnya terhadap negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat
merasakan reformasi prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga
model yakni rakyat kapital, rakyat politik kolektif, dan rakyat
proletar. Hemat penulis, selama ini reformasi prosedural hanya dinikmati
oleh rakyat kapital (konglomerat) dan rakyat politik kolektif
(Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat tani dan buruh)
hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di
eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.
Reformasi Struktural, adalah
tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju
birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik
dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak
keadilan, transparantif, dan demokratis yang menegakkan istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini. Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia
telah masuk pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra
struktural yang memiliki fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan
atau bersentuhan langsung dengan masyarakat atau pihak selain instansi
pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri
dari masyarakat atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak
menempel dengan instansi pemerintah konvensional. Pasca gerakan
reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non struktural berjumlah 12
komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi
Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian
Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional,
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non
struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan,
melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi
terkait, melakukan pemeriksaan (investigasi), mengajukan
pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama dengan
perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan
mengawasi sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan
rutin dan insidentil, Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota.
Pada
umumnya, komisi-komisi tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan
keadilan dan membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi,
dan menyelidiki proses kerja lembaga negara, Presiden,MA,MK,DPR,DPD,
dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas dan
fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih dan
baik (clean and good governance) yaitu birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
Sekilas
dengan adanya reformasi struktural yang demikian menyimpan harapan
besar untuk membangun Indonesia dengan baik, namun ternyata harapan itu
hanyalah impian karena sisten pemerintahan presidensial yang dianut
Negara ini tidak menjamin independensi lembaga non struktural yang
disebutkan tadi. Dalam sistem presidensial yang memiliki kekuasaan
tertinggi adalah Presiden, DPR, dan DPD. Buktinya, komisi- komisi yang
ada adalah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bersama DPR dan DPD.
Pada konteks ini, penulis pesimis komisi – komisi tadi bisa melakukan
pengawasan dan penyelidikan dengan adil kepada lembaga
yang membentuk dan mengangkat mereka. Kepesimisan penulis terbukti
dengan banyaknya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga
negara namun tidak ada kejelasan penyelesaian persoalannya. Kalaupun ada
hanyalah kasus-kasus kecil sebagai bentuk hegemonik untuk mengatakan
Indonesia adalah negara hukum dan demokratis.
Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, dan budaya seluruh
elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa yang lebih
baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda
reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa
adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah
sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah
komputer, reformasi prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi kultural adalah sofwernya. Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.
Inilah
yang menjadi persoalan besar reformasi Mei 1998 yang sudah berjalan
satu dasawarsa lebih tidak berjalan dengan baik, bahkan menjadi lebih
buruk sebelum terjadinya gerakan reformasi, korupsi semakin terbuka dan
menggurita hingga ke jajaran pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa, mafia hukum semakin merajalela, penggelapan pajak
semakin tidak terbatas, berkuasanya politikus-politikus hitam yang
setiap saat menjual suara rakyat, banyaknya partai politik yang
melahirkan generasi bangsa yang tidak bertanggung jawab, gerakan sosial
(LSM) semakin oportunis yang seringkali berselingkuh dengan penguasa dan
pengusaha, gerakan mahasiswa semakin tidak tertata dengan baik bahkan
mengarah pada gerakan bayaran, masyarakat semakin tidak percaya dengan
institusi dan pemerintahan. Itu semua disebabkan karena reformasi yang
terjadi hanya sebatas struktural dan prosedural, sedangkan reformasi
kultural masih dibawah bayang-bayang yang tidak
menentu. Ironisnya, yang mengisi reformasi prosedural dan struktural
adalah kultur lama yang masih memiliki pola pikir dan cara pandang
penguasa otoriter orde baru dan bahkan pola pikir kolonial belanda.
Amien Raias (2001) salah satu pelopor gerakan reformasi mengatakan ada empat kelemahan reformasi: Pertama, reformasi demokrasi kita belum berhasil mengembangkan moral politik bangsa untuk menjadi lebih dewasa, matang, serta memiliki civic competence. Kedua, proses reformasi dan demokratisasi kita belum berhasil menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance) serta efesiensi dan efektif (the new public manajement). Ketiga, reformasi politik dan demokratisasi belum mampu menghasilkan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat. Keempat, reformasi belum mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi (birokrasi).
Apa
yang harus dilakukan untuk mengarahkan reformasi menuju yang lebih
baik. Apakah kita harus tinggal diam hanya menonton drama elit politik.
Apakah mungkin suport system reformasi yang diuraikan pada awal tulisan ini dapat berjalan dengan baik ditengah ketiadaan sofwer
reformasi. Reformasi apa lagi yang harus kita lakukan, reformasi tahap
kedua, tahap ketiga, tahap keempat. Reformasi apapun hanyalah reformasi
bukan kesejahteraan dan kedamaian bangsa. Semua ini menjadi bahan
renungan kita bersama untuk berfikir dan bertindak menuju yang lebih
baik.